Latest Movie :
Recent Movies

Modus Baru Pembelajaran IT Smk Nurul Qur'an

editing :
Muh. Dhobithonil Marzuqi
Ro'is khoirul Na'im
Septian Hendra Atmanto

HEMAT

Melihat buku yang disukai, temanya masuk minat, atau malah diincar lama, tapi dibeli orang lain, butuh kesabaran dan kesigapan membangun optimisme. Ya, sedih saja percuma kalau tidak dengan asa bahwa esok akan diraih pula buku tersebut. Pada saat yang tepat, berjodohlah buku tersebut bersama kita, insya Allah.

Pekan-pekan ini saya harus mengebut pembangunan rumah. Dengan dana yang ada, harus ada penghematan di sana sini. Masih belum sempurna gubuk yang dibangun, tetapi mau bagaimana lagi. Tenggat sekian bulan harus ditepati agar lingkungan baru yang lebih kondusif bagi kami sekeluarga bisa dimasuki. Konsekuensi semua ini adalah penghematan membeli buku.

KASIH SAYANG

Wanita itu terdiam, tapi keinginannya masih menyala. Keinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Di depannya sang suami hanya bisa terdiam. Dalam gendongannya sang anak tertidur pulas.”Ini kesempatan baik buatku, Mas. Aku kepingin kuliah di luar.” Sang suami masih diam. Seluruh alasan untuk ‘mencegah’ istrinya telah dikemukakannya.
“Ini kesempatan prestise, Mas.”
“Untuk siapa?” tanya sang suami.
“Untuk karirku. Jarang ada yang bisa meraih peluang ini.” Ruang itu kembali sunyi. Masing-masing menundukkan kepala. Diam. Sang anak yang berada dalam gendongan sang suami menggeliat. Lalu kembali tertidur.
“Bagaimana dengan anak? Akankah kau ajak. Terus terang aku sendiri agak susah meninggalkan pekerjaan di sini.”
“Menurutku lebih baik dia berada di sini. Tak mungkin aku membawanya. Dia masih terlalu kecil untuk dibawa pergi,” kata sang istri sambil melihat lukisan yang tertempel di dinding sebelah kanan.
“Tapi apakah dia sudah terlalu besar untuk ditinggal pergi oleh satu-satunya orang yang disebut ibu!” Nada suara sang suami sedikit meninggi, lalu kembali disusul oleh sunyi. Pembicaraan itu tidak berujung kesepakatan. Sang istri tetap berangkat kuliah keluar negeri, meninggalkan sang anak yang masih bayi.
KISAH DI ATAS pernah dituturkan oleh salah seorang sahabat kepada kami. Kisah yang sangat sederhana. Padahal, sesederhana apapun sebuah peristiwa, seringkali ia mampu menyajikan hikmah luar biasa bagi kita. Melalui kisah di atas, saya ingin berbagi tentang bagaimana kita menyayangi anak-anak. Kita seringkali telah merasa ‘menyayangi’ anak-anak. Sementara kita tidak pernah mengetahui apakah anak-anak telah benar-benar terpenuhi kasih sayang kita.
Tanpa sadar banyak di antara orang tua yang bersikap sangat egois kepada anak-anak. Mereka telah ‘merasa’ bahwa apa yang dilakukannya ditujukan untuk masa depan anak-anak; untuk kepentingan anak. Padahal, yang terjadi karena orang tua tidak ingin diganggu oleh anak. Marilah kita melihat tindakan kita sehari-hari. Betapa banyak kemarahan kita kepada anak, sebenarnya karena kita tidak ingin direpotkan oleh anak, meskipun kita mengatakan kepada mereka bahwa kemarahan kita untuk kebaikan anak.
Kita menjadi mudah marah ketika anak-anak terlalu lama mengunyah makanan. Kalimat-kalimat bernada tinggi pun keluar tanpa terkontrol. Dengan serta merta kita katakan kepada mereka, “Ayo cepet dikunyah to! Bagaimana mau cepat gedhe kalau makannya lambat seperti itu.” Benarkah kita meluapkan kemarahan karena untuk kebaikan anak? Atau, sebenarnya karena kita tidak ingin direpotkan oleh kelakuan anak; kita tidak bersedia berlama-lama dalam satu aktivitas yang sebenarnya, bagi kita, dapat dilakukan lebih cepat.
Betapa banyak di antara kita merasa kesal dan marah setiap kali arahan kita sebagai orang tua diabaikan anak. Keributan kecil menjelang sekolah, saat-saat ketika anak enggan untuk segera tidur, ketika anak susah untuk mandi, dan sebagainya, seakan menjadi potret betapa kita mudah sekali marah pada anak. Sebagian orang tua yang lain berusaha menekan anak agar memperoleh nilai (angka) yang memuaskan di sekolah, memaksa anak-anak agar segera menguasai berhitung dan membaca, dan menggiring anak-anak agar dapat terlibat dalam panggung-panggung mencari bakat. Padahal, beberapa di antaranya merupakan siksaan batin bagi anak. Dalam kasus-kasus demikian, orang tua sering lebih mengedepankan egoisme diri daripada memperhatikan kebutuhan jiwa anak.
Sementara orang tua yang lain sibuk dengan aktivitas (yang konon katanya untuk anak-anak juga). Sampai-sampai tidak ada lagi waktu bagi anak dan keluarga. Anak-anak lebih dekat dengan orang lain (pembantu, misalnya) daripada dengan orang tua mereka. Persis seperti kisah sederhana di awal tulisan ini. Kita kadang hanya merasa telah menyayangi anak-anak. Padahal, pada banyak kasus, kita sering mendesak anak-anak agar memaklumi kita. Sementara pada banyak keadaan yang lain, sebenarnya kita gagal memahami dan memaklumi anak-anak. Kita terlalu pandai menekan anak agar memaklumi kesibukan, keinginan-keinginan, dan standar-standar kita. Namun, kita sering lupa untuk piawai memahami keinginan dan harapan anak-anak.
Banyak di antara kita berharap anak-anak kelak menjadi salih dan mampu mendoakan kita. Tapi sayangnya, kebersamaan kita dengan anak-anak terlalu sedikit untuk mampu membentuk karakter dan mengajari mereka berdoa yang baik, karena waktu yang dimiliki lebih banyak dihabiskan pada karir, pekerjaan, dan keinginan-keinginan pribadi kita sendiri. Saksikan film I not Stupid Too. Kita akan belajar dan mengerti bahwa ada banyak orang tua yang tidak berani mengorbankan karir dan peluang bisnisnya hanya sekedar untuk menghadiri pentas anak di sekolah. Keinginan kita untuk mendidik anak dan membersamainya dikalahkan oleh keinginan kita untuk sukses dalam karir dan pekerjaan. Padahal, keinginan anak terkadang sangat sederhana, tetapi begitu mahal untuk dipenuhi oleh orang tua yang telah merasa cukup menyayangi anak-anak mereka. Nah, seperti apakah kasih sayang kita kepada anak-anak? Wallahu a’lam bish-showab. []

TIPU SULTOON RADJA RINDU 123

Sultan Muhammad II, namanya terus dikenang, bahkan hingga hari ini. Pada usia menjelang 22 tahun ia menggantikan ayahnya. Waktu itu 18 Februari 1451 M. Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam ad-Daulah al-Utsmaniyyah menjelaskan bahwa sejak muda Sultan Muhammad II gemar menyerap dan menangkap ilmu pengetahuan. Masa mudanya tidak dibiarkan sia-sia. Semangatnya membara. Keinginannya sangat kuat, yaitu menaklukkan Konstantinopel. Ia ingin menjadi orang yang mampu mewujudkan impian berabad-abad kaum Muslimin, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Konstantinopel akan dapat ditaklukkan di tangan seorang laki-laki, maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” (HR. Ahmad).
Untuk impian itu beliau kerahkan 250.000 pasukan terlatih. Dia hadirkan banyak ulama di tengah pasukannya. Dia kerahkan para insinyur untuk memproduksi  meriam yang salah satunya diberi nama meriam Sultan Muhammad. Konon, bobotnya mencapai ratusan ton dan membutuhkan puluhan lembu untuk menariknya. Sultan Muhammad sangat serius dengan cita-citanya. Disebabkan kota Konstantinopel merupakan sebuah kota laut, yang tak mungkin dikepung kecuali dari lautan, maka beliau juga menyiapkan sekitar 400 kapal. Seluruh persiapan itu berlangsung hingga akhirnya pada Kamis 26 Rabiul Awwal 857H bertepatan dengan 6 April 1453M, pasukan itu telah mendekati Konstantinopel.
Pukul satu dini hari, tepat pada Selasa, 29 Mei  pasukan yang dipimpin Sultan melakukan serangan umum ke kota Konstantinopel. Pada hari itu pula impian delapan abad kaum Muslimin terwujud di tangan seorang pemuda yang genap berusia 24 tahun. Namanya dikenang hingga kini. Orang lalu menyebut sang Sultan sebagai Muhammad al-Fatih Murrad.
Saat ini saya agak sulit membayangkan seseorang berusia 24 tahun sanggup memimpin pasukan dalam jumlah besar untuk menaklukkan sebuah kota yang sangat kuat. Seseorang yang dalam usianya yang masih sangat belia, memiliki kematangan dan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, merupakan sesuatu yang langka untuk zaman kita. Akan tetapi, tidak untuk beberapa puluh tahun yang lalu.
Pada 1928 di Rotterdam, Bung Hatta yang genap berusia 26 tahun ditangkap dan disidang di Den Haag. Saat itu beliau membacakan pledoi, “Hanya satu tanah air yang dapat disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku.” Sebuah pledoi yang mencerminkan semangat, prinsip, dan kematangan jiwa. Bandingkan dengan usia kita saat ini yang tak bertaut jauh dengan Hatta pada 1928. Adakah semangat dan kematangan itu kita miliki? Ataukah, kita lebih banyak mengisinya dengan hura-hura dan gaya hidup permisivisme?
Jika kita baca sejarah, Hatta tidaklah sendiri. Ada tokoh-tokoh lain yang telah mengisi usia muda mereka dengan kerja-kerja kepahlawanan. Bung Tomo yang menyemangati pejuang republik dengan pidatonya di RRI pada November 1945 berusia 24 tahun. Soekarno sejak usia 21 tahun telah aktif dalam pergerakan dan mulai menulis rutin di koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Demikian pula halnya dengan Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh lainnya.
Usia merupakan batas waktu yang diberikan Allah ta’ala kepada kita untuk menjalani kehidupan ini. Sepanjang batas waktu itu kita dituntut untuk mengisinya dengan kerja-kerja produktif. Inilah yang dapat kita pahami dari firman Allah ta’ala, “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya (ahsanu’amalâ).” (Qs. al-Mulk [67]:2). Yang dituntut tidak sekedar yang terbanyak amalnya (aktsaru ‘amala), tapi yang terbaik amalnya.
Tapi, batas waktu itu ternyata sangat rahasia untuk kita ketahui. Tak ada satu pun di antara kita yang mengetahui kapan batas waktu hidup kita berakhir, kecuali Allah ta’ala. Kerahasiaan ini tentu membawa konsekuensi. Kita tidak dapat memilih dan menentukan kapan waktu paling tepat untuk melakukan kerja-kerja produktif itu. Akhirnya, pilihannya tinggal satu, yaitu menjadikan setiap satu satuan waktu yang dimiliki berbanding lurus dengan (minimal) satu unit amal.
Ini mesti dilakukan jika menghendaki ketika Allah menentukan batas usia terakhir kita di dunia ini, kita sedang melakukan kerja-kerja kebaikan, dengan jiwa yang rindu akan keridlaan Allah. Inilah saat-saat paling dinantikan. Saat kematian mendatangi kita dengan husnul khâtimah. Saat itulah kematian bukan lagi sebagai tragedi.

MY WOMAN CRY

I will start this note by asking you a question;
What is the distinction between house wife and house maid?”
Probably you will wrinkle your forehead and widely smile, while starting mumbling these answers;
Different title but the same occupation…
Different in paycheck…
One is worked by divine calling, one by pocket earning…
Sleep in different rooms
Yeah…, of course one is using ‘w’ letter and one is using ‘m’ letter...”
Most people said housewife isn’t an occupation. It just divine calling. Once you get engaged in marriage and not allowed to work by your partner because you are already have kids. Or it just your logical reason because you think motherhood is your divine calling. But, how if, being a housewife is an agony, as if you might recall this following story in daily news…
“Anik Coriah (31), the Bandung woman accused of killing her three sons, Abdullah Faras (6), Nazhif Aulia Rahmatullah (4), and Muhammad Umar Nasrullah (9 month) …, argues that God told her to do so…
Defense attorney argued that insanity was the only reasons why deeply religious mother who homeschooled her children would kill all of them without so much tears. “There was no cry,” her psychologist said. “She was insane. There is no other explanation.” Psychologist testified that Anik believed she was divinely chosen by God to kill her children as a test of faith. In a videotape played at her trial, Anik said she saw her youngest son play with a spear, hold rock and squeeze a frog, and took them all as signs from God that she should kill her children.”
And that case is not the one. I have more than 100 cases in Indonesia and thousands of them worldwide. In fact, some researcher found several thousand cases from 1990 to 1999 involving mothers who killed their children, and they had researched over 200 of them. Approximately, 10% of these women had killed more than one child.
Then, you perhaps asking me a question,
“Why would a mother kill her own children?”
Usual boring monotonic life can lead to depression. And major depression is the biggest contributor to the reason why would housewives kill their own children. Domestic daily cares are central activities that consume most time of the housewife. They have less time to do another thing, especially “me time”. Most of them have lack ability to socialize in their neighborhood, and have an introvert personality. It shows that their lives are tedious and miserable. Those indications can lead to depression, and major depression can direct to suicidal thought and even murdering action.
For woman in particular, depression is common. Martin Seligman, the founder of positive psychology, once ever said that “human race are in the middle of epidemic depression, the consequences are suicidal mood and suicide action. It takes so many lives, more than AIDS ever do. We are facing the world with 10 time depressed population than 50 years ago. And it takes women twice more than man, and consumes ten generation younger than ever before…”
According to National Mental Health Associations, approximately 12 million women in United States experience clinical depression each year. About one in every night women can expect to develop clinical depression during their life time. In Indonesia, the statistics even more horrifying. According to research conducted by Association of Mental Health Doctors, almost all of the population (98%) undergo minor into major depression, and half of them (about 48%) endure depression that prohibit to have full function life for about two weeks, and another 20% are diagnose having habitual depression in the rest of their life.
Women are about twice as likely as men to suffer from depression. This two to one difference persists across racial, ethnic, and economic divides. In fact, this gender difference in rates of depression is found in most countries around the world.
And so, another question flash into your head,
“What is depression, anyway? And why it attacks more women than men?”
If you’re feeling sad, guilty, tired, and just generally “down in the dumps”, you may suffering from major depression. Common complaint includes; depress mood, loss of interest or pleasure in activities you used to enjoy. If you have at least three of these symptoms, you are may be in high risk of having depression. Those symptoms are; feeling guilt, hopelessness and worthlessness; suicidal thoughts or recurrent thoughts of death; sleep disturbance (sleeping more or sleeping less); appetite and weight changes; difficulty concentrating; lack of energy and fatigue.
Although the sign and symptoms of depression are the same, for both men and women, women are tending to experience certain symptoms more often than men. For example, women are more likely to experience the symptoms of atypical depression. In atypical depression, rather than sleeping less, eating less, and losing weight, the opposite is seen: sleeping excessively, eating more (especially carbohydrate), and gaining weight. Feeling of guilt associated with depression is also prevalent and pronounced in women. Women also have higher thyroid problems, hypothyroidism can cause depression.
Then, the next question is…
“What are the causes of depression in women? Especially during motherhood…”
There are a number of theories which attempt to explain the higher prevalence of depression in women. Many factors have been implicated, including social and cultural causes, psychological and also biological factors, which women are heavenly designed differ than men.
Social and cultural causes of depression in women are involved role strains. Women often suffer from role strain over conflicting and overwhelming responsibilities in their life. The more a woman is expected to play as a magnificent mother and wife, the more vulnerable she is to role strain and subsequent stress and depression. Depression is more common in women who receive little help with housework and child care. Social and psychological burden is even harder when society still see that raising great children is women responsibility. It’s even vigorous when husband seems neglected his wives emotional strain. Minor depression looks as if nothing. When a mother fail raising children as society wants them to be, she become the black sheep.
Unequal power and status often be major problems among housewives. Women’s relative lack of power and status in our society may lead to feelings of helplessness. The course of this feeling such as, inharmonic relations between husband and wife, or maybe there are problems caused by extended family member. This sense of helplessness puts women at greater risk of depression.
Relationship dissatisfaction also contributes depression among wives. While rates of depression are lower for the married than for the single and divorced, the benefits of marriage and its general contributions to well-being are greater for man and for woman. Furthermore, the benefits disappear entirely for woman whose marital satisfaction is low. Lack of intimacy and marital discord are linked to depression in wives.
Psychological causes divided into two major causes. First is, coping mechanisms. Women are more likely to ruminate when they are depressed. This includes crying to relieve emotional tension, trying to figure out why they’re depressed, and talking to their friends about the depression. However, ruminations have been found to maintain depression and even make it worse. Men, on the other hand, tend to distract themselves when they are depressed. Unlike ruminations, distractions can reduce depression. According to Psychology Today, women are more likely than men to develop depression under lower level of stresses. Furthermore, the female psychological response to stress is different. Women produce more stress hormone than men do, and the female sex hormone progesterone prevents the stress hormone system from turning itself off as it does in men.
Biological contributors to depression are in pregnancy and infertility. The many hormonal changes that occur during pregnancy can contribute to depression, particularly in women already at high risk. Other issues relating to pregnancy such as miscarriage, unwanted pregnancy, and infertility can also play role in depression. Many new mothers experience the “baby blues.” This is a normal reaction that tends to subside within few weeks. However, some woman experience severe, lasting depression. This condition is known as postpartum depression. Postpartum depression is believed to be inflated, at least in part, by hormonal fluctuations. Women may be increased risk for depression during perimenopause, the stage leading to menopause when reproductive hormones rapidly fluctuate. Women with past histories of depression are at an increased risk of depression during menopause as well.
Your next question would be…
“How depression in housewives can affect their children, excluding murdering?”
Children grow and learn by modeling. They learn from examples are given by their environment, especially their parents, moms, as significant others. When their moms are in depression, children are commonly share the same psychological pattern. Children with anxiety mothers are more likely to have seven times higher chances to have anxiety disorder. The newest report comes from National Research Council and the Institute of Medicine in United States. This research said that one of five mothers in United States are having habitual depressions, and 15.6 million children under 18 years old live with adult which under major depression.
Commonly, depression in mothers not directly affected their children. But, several studies show that when the time mothers in depression, their children often have poor health, deviance behavior and emotional disturbance. Judy Garber from Nashville’s Vanderbilt University judged that preadolescent is the most vulnerable phase through depression. Garber reported that about one to five adolescence steps into depression when they reach 18 years old. From his study, Garber found that 316 participants confess that they have mothers in major depression.
Depression level in teenagers is come from the anxiety of their moms. They mostly have negative thought or overprotective with their children. Bryan King, director of Child Psychiatry in Seattle Hospital said that, child which have depression mother seem don’t have emotional support to flourishing their own self worth feeling.
One study hold by Loraine Bezaldine, M.D. in female brains indicates that depression is also transferred through generations during pregnancy. Woman with depression develop glooming reactions that produces hormones which affected the infant. Once the baby was born, their mom’s often having baby blues syndrome. These babies often grew up become introvert children.
Woman with depression often can’t cope their own emotional disturbance. This also affected their spouse. If this relations become worse and worse, it can leads to divorcing, and divorce parent can straight to depression on their children.
So, the next question would be…
“Is depression treatable?”
All these years, counseling in depression and treatment method commonly designed only for personal therapy. Even though, if depression is infected mother as housewives, most of family members are affected, as I have notice above. To determine the root of depression we often has to route to the whole family relation to each other, said Jane England psychiatrist from Regis College. Her studies provide new vision to treat depression, which provides holistic treatment not only for parent but also their children. Nowadays, professional mental health provider often includes the entire family member in therapeutic treatment; often the obstacles come from the women. Only one third women are asking for help to treat their depression. Most of depression is hidden behind the walls, until it burst to clinical action, murdering their children.
Women depression can affected the whole family even the society, so I suggest, the cure are also involving the whole community. I call this “holistic social support”.
You may ask the final question…
“Why should holistic social support?”
This approach not only provides curative action for women with depression, but also can provide preventive ones. With strong social support, community can notice which mother are having the higher risk to major depression.
As you can see above, most women which suffer depression are lack of social support. They often have to deal with day to day stresses all by themselves. This holistic social support is given housewives sense of bounding. Feeling to be accepted, wanted, and has live purpose in the community.
We develop holistic social support from their origins. Such as, “arisan” or “pengajian.” In those activities, women are already bounding in certain activity. We just added what was the lack on their process. We notice that in those activities originally focus only in one purpose, and often miss guided as gossips forum. So, we enter these communities by asking them what they want most in their daily life. After so many rehearsals, we found several aspects that can develop in this local environment. The aspects are spiritual, emotional, aesthetic, intellectual, social and financial.
We are developing activities which can expand their interests, in those aspects. In spiritual and intellectual matters we provide frequent discussion about religion and common issues. In emotional aspect we teach them simple self help treatment like NLP, EFT, self awareness and simple counseling methods, to enhance their problems solving skills, improving interpersonal relationships, and reducing negative thinking and ineffective coping technique. In aesthetic and financial parts, we provide homemade handicraft skill or developing their cooking skills, so they can sell it to earn income. In social portion, we create social event such as helping local disaster survivors or simple gardening in the local park. With those actions, we hope that housewife has better atmosphere that empower them as human being. So, it can prevent them from minor or even major depressions.
With this community approach, hopefully we can reduce a half of major depression which affected women in this society. Foremost, women as housewives.

NEGERI SABUN

Bila dilontarkan kata suci maka definisi yang timbul dalam benak adalah putih, bersih, harum bahkan melati. Hal ini berkaiatan dengan memori kolektif manusia bahwa suci atau kesucian adalah sebuah ekspresi tentang kemurnian.
Bila kata suci ini dikaitkan dengan kesetiaan maka yang mungkin muncul adalah mengenai keprawanan. Dalam etika pergaulan yang terjadi di sekitar kita, terutama di kota-kota besar, kata keprawanan adalah hal yang langka. Menurut penelitian yang dilakukan sebuah LSM di Yogyakarta hampir 89% dari remaja dengan karakteristik tertentu sudah tidak lagi perawan. Survei dilakukan pada remaja perempuan, namun Saya kira angka tersebut akan membengkak bila survei dilakukan di kalangan remaja pria. Karena bukankah pria cenderung tidak memiliki ‘bekas’?
Saya pernah memiliki pengalaman yang mungkin bisa dijadikan renungan untuk para pencari cinta sejati. Ini curhatan datang dari seorang ikhwan salaf. Awalnya ia bercerita tentang malasnya untuk kuliah dan penyakit psikosomatisnya yang menjurus ke anangkastik. Lalu ia mulai bercerita tentang gangguan maniakal yang ia idap. Maniak secara seksual, artinya mudah terangsang namun tidak mudah terpuaskan. Ia bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Ia dulu semasa SMA sering melakukan hubungan seksual dengan pacar-pacarnya. Ia sering bergonta-ganti pacar sebab pacarnya sering minta putus. Dan alasan putus karena pacarnya gak kuaat… menahan semburan bazokanya. Wow, ikhwan lho! Siapa yang mengira! Tapi akhirnya saya nyadar bahwa ia adalah pria. Yah, PRIA sebenar-benarnya…
Para pria amat mengagungkan keprawanan. Lalu kalau tidak perawan artinya adalah cemar. Namun pernahkah Anda pikir hal ini tidak adil rasanya… Bagi seorang semacam saya yang tidak akan pernah pacaran sebelum menikah, hal tersebut sedikit mengancam. Bagaimana proses ta’aruf bisa mengungkap hal ini? Rasanya kok tidak mungkin kita bertanya, Mas masih perjaka atau tidak? Punya penyakit seksual atau tidak? Berapa ukuran anu-nya? Kok rasanya ndak pantes. Tetapi bagaimana? Kita kan tidak mau membeli kucing dalam karung… Kalau misalnya pasangan kita adalah seperti ikhwan yang saya paparkan di atas. Bagaimana? Mau? Kok saya agak menolak ya? Rasanya kok mengerikan dan tidak adil!
Pria menuntut keprawanan dari seorang perempuan namun ia sendiri tidak menjaga keperjakaannya untuk dipersembahkan pada istrinya di malam pertama. Bagaimana seorang wanita bisa membuktikan keperjakaan pasangannya? Kan untuk pria hal seperti itu sulit dibuktikan, atau mungkin bisa dilihat dari kecanggihan gaya seksnya… Kalau amatiran berarti masih perjaka dan kalau sudah ekspert berarti hal tersebut bukan kali pertama…
Tampaknya jawabannya kembali ke Quran. Seorang perempuan yang baik pasti akan mendapatkan pria yang baik pula. Jadi kalau misalnya Anda dapat pria model di atas, maka Anda harus mulai bertanya tentang sejauh mana Anda telah memelihara diri Anda. Adil?
Bandung, 13 November 2005
Kontemplasi di Kotak Sabun

PERMEPUAN

Dewasa ini perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan yang menakjubkan. Sejak Kartini menghembuskan nafas perubahan bagi perempuan Indonesia, pergerakannya telah mencapai kemajuan yang mencengangkan. Ribuan Perempuan Indonesia mengukir prestrasi dengan menjadi wanita karier, dokter, sopir, astronot, politisi, dan paling dasyat (atau sayangnya) Presiden Republik Indonesia Raya yang tercinta ini. (dan sedang berkampanye untuk dipilih kembali).
Perempuan Indonesia telah memasuki “dunia laki-laki” yang lebih mengutamakan ketegasan, logika dan rasio. Sama rata, sama rasa dan sama karsa (tapi bukan jargon komunis, lho!) dengan pria. Dari urusan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan hidup bahkan dalam urusan seks sekalipun.
Namun ternyata dalam urusan pasangan hidup, masih banyak perempuan Indonesia yang kolot (seperti saya misalnya!) Ada seorang kawan saya yang berkata lebih baik mati daripada melamar duluan ikhwan yang ia pikir dan rasa cukup sholeh untuk membina rumah tangga. Ada juga seorang lagi yang berkata lebih baik menjaga gengsi daripada harus nembak duluan pada orang yang disukainya. (Walau tiap malam stres menunggu sms atau telpon darinya ^_^)
Tulisan ini saya tujukan untuk Anda, perempuan yang sedang menunggu. Terombang-ambing. Usia yang sudah beranjak menua, ketika “pangeran berkuda putih” tak kunjung datang untuk memberikan sebuket bunga mawar dan sebentuk cincin…
Jodoh adalah rahasia-Nya. Ingatlah dan yakinlah! Saya sering berhadapan dengan akhwat atau ikhwan yang tampaknya sangat ngebet untuk menikah, tetapi ternyata tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakannya. Apa sih sumber daya yang dibutuhkan oleh seorang yang akan menikah?
  • Kesiapan fisik
  • Kesiapan ruhiyah
  • Kesiapan finansial
Itu kata Ustadz Anis Matta, dan menurut Saya lebih banyak diperuntukkan bagi pria. Kalau kata saya untuk akhwat, cukup satu, yaitu NIAT! Apabila kita ingin untuk menikah kita harus meninjau ulang niat kita. Jujur atau tidak alasan utama perempuan usia 20-an untuk menikah adalah kebutuhan biologis, tuntutan adanya cucu dari orang tua dan tekanan sosial dimana hampir semua teman sepermainan sudah menggendong anak!
Ukhtifillah, dalam tuntunan jama’ah kita, landasan yang paling akhsan dalam memutuskan menikah adalah DAKWAH. Dengan kerangka itu kita mulai niat kita, kita persiapkan ubo rampen-nya untuk hajatan besar dalam hidup kita itu.
Lalu dengan landasan niat itu kita kondisikan orang tua, tentang rumah tangga ideal sesuai tuntunan uswah kita, Rasullah SAW. Mengapa mengkondisikan orang tua saya jadikan langkah yang pertama? Hal ini dikarenakan, banyak ikhwah yang melupakannya. Sudah ta’aruf dengan ikhwan yang sholeh dan merasa cocok, namun ketika si ikhwan datang mengkhitbah, orang tua menentang dengan alasan ma’isah-nya belum jelas, bibit, bobot dan bebetnya tidak sebanding dan sebagainya.
Langkah kedua, kondisikanlah diri kita secara fisik. Siapkah siapkah kita menjadi istri dan ibu? Menjadi tonggak Islam, melahirkan jundullah? Hiduplah dengan pola hidup sesuai ajaran Rasul, makan jika lapar dan berhentilah sebelum kenyang, puasalah, dan berolah ragalah. Hal ini yang sering kita lupakan. Karena alasan kesibukan amanah, olah raga menjadi agenda yang kesekian dari prioritas kita. Dan sebaik-baiknya olah raga adalah yang diajarkan Rasul yaitu, berenang, memanah dan berkuda. Olah raga mahal memang, di mana kita bisa menemukan kuda (kecuali di pasar UNPAD mungkin), apalagi lapangan memanah atau kolam renang khusus akhwat. Tapi jalan dan lari pagi mungkin sudah cukup.
Persipan yang terakhir, adalah persiapan tentang ruhiyah. Keikhlasan kita menunggu pasangan hidup. Siapapun dan bagaimanapun ia nantinya. Bila ternyata tidak sesuai dengan gambaran kita tentang ikhwan ideal. Keikhlasan kita untuk memerima kekurangan dan kelebihannya.
(Dia manusia biasa Ukhti…)
Tahap menunggu adalah hal yang tersulit bukan? Sering kali kita merasa kesal jika dalam sebuah perjanjian teman yang janji bertemu tidak kunjung datang. Menunggu pasangan hidup memanglah tidak mudah. Harap-harap cemas. “Diakah? Atau dia? Apakah dia?”
Dalam tahap ini kita harus yakin satu hal, jodoh adalah rahasia-Nya! Jadi tunggu saja, kita pasti mendapatkan yang terbaik buat kita. Memang standar baik kita berbeda yang standar baik-Nya. Jadi…. Percayalah JODOH ADALAH RAHASIANYA!
Wallahu’alam bi showab.
Diperuntukkan bagi diri saya dan akhwatfillah yang sedang “menunggu”, SABARLAH!
Sebuah perenungan saat 4JJI menyuruh Saya istirahat dengan nikmat sakit.

SARAN DAN SOLUSI

ADA KELUHAN ATAU PERTANYAAN?

TINGGAL ISI FORUM DI BAWAH INI.

foxyform
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PANDAWA LIMA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger